Kamis, 18 Februari 2010

Muharram Kelabu: Tragedi Abadi di Kening Sejarah Islam!




ya-husain


Sepertinya Muharram menjadi bulan kelabu dalam tahun Islam. Pada 27 Desember 2008, 2 hari menjelang Muharram, pemukiman penduduk Gaza dibom pesawat F 16 Israel. 400 orang meninggal dan lebih dari 700 orang menderita luka-luka akibat kebiadaban tentara penjajah Israel. Rezim-rezim Arab bungkam. Arab Saudi seolah mensyukuri tragedi ini. Mesir bahkan seolah terkesan menghalangi bantuan untuk warga Gaza Palestina yang menjadi korban itu. Seperti telah maktub dalam kening sejarah, pada bulan ini tragedi berdarah mencoreng kening sejarah Islam. Kebungkaman ini, persis seperti  peristiwa pada 61 Hijriah, 60 tahun setelah Nabi Muhammad saw wafat.
Pada 8 Dzulhijah tahun 60 Hijriah, seorang lelaki yang tengah melakukan umrah tamattu menggantinya dengan umrah mufradah. Tiba-tiba dia menghentikan tawaf di Ka’bah. Lalu dia berorasi lantang kepada seluruh jamaah Haji. KEtika itu dia jelaskan bahwa Muawiyah telah mengingkari janji dengan mengangkat Yazid, Sang Pemabuk, sebagai khalifah. Muawiyah merampas tahta suci Rasulullah Muhammad saw. Dia tegaskan bahwa umat Islam sedang di ambang perpecahan kehancuran.
Orasi lantangnya yang berapi-api tak membuat orang-orang menghentikan tawafnya. Hanya sedikit yang menggubrisnya. Mereka ”mencari selamat” karena takut kepada Yazid. Ya, bukankah kekejaman Muawiyah telah mereka rasakan.
”Akulah Ka’bah yang hidup,” teriaknya kepada mereka yang thawaf di Ka’bah. ”Kalian sedang mengelilingi Ka’bah yang mati, karena tanpa aku, Ka’bah hanya simbol belaka. Karena akulah garansi Allah Swt melalui lisan suci Rasulullah Muhammad saw,” tambahnya sebelum mengakhiri orasi. Lalu lelaki itu meninggalkan orang-orang yang tawaf mengelilingi Ka’bah disusul segelintir orang termasuk keluarganya. Dia putuskan menuju Kufah bersama keluarganya. Dialah Husain putra Fathimah putra Rasulullah Muhammad saw.
Abdullah bin Umar meminta Husain agar pulang ke Madinah, tidak menuju Kufah untuk menghindari pertumpahan darah. “Wahai Ibnu Umar! Mereka tidak akan melepasknku. Mereka tetap memaksaku membaiatnya atau membunuhku. Dengar baik-baik wahai hamba Allah! Di antara sebab mengapa dunia ini sangat hina di sisi Allah adalah tragedi kepala Nabi Yahya bin Zakaria dipenggal kaumnya dan kemudian itu dijadikan hadiah bagi Sang pemimpin zalim. Wahai putra Umar! Bila engkau tak bersedia pergi bersamaku dan berat bagimu bersamaku, maka itu kumaafkan. Jauhi mereka dan jangan kau berikan baiatmu kepada mereka sampai segala perkara menjadi jelas.”
Ibnu Abbas, meminta agar Husain tak membawa serta perempuan dan anak-anak. Saran itu dimentahkan Zainab dengan berkata, “Wahai Abbas, jangan pisahkan kami dengan saudaraku Husain.”
Malam hari sebelum berangkat menuju Kufah, Sayidina Husain menjenguk saudaranya, Muhammad al-Hanafiah yang sedang terbaring sakit. Muhammad al-Hanafiah, mengkhawatirkan Husain dan keluaganya. Dia mengusulkan kepada Husain agar pergi ke Yaman. “Wahai saudaraku! Setelah kita berpisah semalam, aku berjumpa datukku Muhammad saw. Beliau berkata, “Ya Husain ukhruj, fainnallaha qad syaa an yaraka qatila‌ (Wahai Husain! Keluarlah, sebab Allah telah menghendaki melihatmu terbunuh [di jalan-Nya]),” ujar Husain. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…” Gumam Muhammad al-Hanafiah.
Bujair bin Syaddad meminta alasan Husain hendak menuju Kufah. Beliau menjawab, “Semua surat ini dikirim tokoh-tokoh Kufah yang mengundangku.” Demikian juga kepada Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Karung di atas kudaku penuh dengan surat-surat mereka.”
Sekedup telah ajeg di punggung-punggung onta menaungi perempuan-perempuan keluarga Nabi Muhammad saw. Abu Fadhl Abbas melindungi barisan putri-putri Muhammad saw. Zainab, Ummu Kulsum, Fathimah Kubra, Sukainah, anak-anak, bayi, seluruh putra-putri serta sahabat Sayidina Husain seolah berujar, “Selamat tinggal kota yang mengabaikan hak-hak keluarga Muhammad saw.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar