Minggu, 08 Mei 2011

"KONSEP POLITIK DALAM DUA MADZHAB ISLAM: SUNNI DAN SYI'AH"

Teori Politik Islam: Sunni Dan Syi'ah
1.   Sejarah Pemikiran Politik Islam
Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam bukunya Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Joseph Schacht, seorang orientalis lainnya, yang berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar agama, ia mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Dengan demikian, seperti yang di kemukakan oleh H. A. R. Gibb, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi.

Pendapat dari para orientalis tersebut diperkuat oleh fakta-fakta sejarah. Misalnya sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW bersama kaum Mukmin di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel sistem politik modern, maka dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence, tetapi juga tidak disangkal jika dikatakan sebagai sistem relegius, karena dilihat dari tujuan-tujuan dan motif-motif dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak. 

Sebagai sebuah sistem politik dalam perjalanan sejarahnya Islam diwarnai dengan dinamika pemikiran politik, seperti halnya perjalanan sejarah pemikiran politik agama-agama lain. Pemikiran politik Yahudi, Kristen, dan juga Islam tidak terlepas dari unsur kesejarahannya. Teori-teori politik tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian proses dengan fenomena dan kejadian kesejarahan yang dikaji dan diteorisasi secara sistematis. Teori-teori politik yang muncul di Barat sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan perhatian mereka terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan kekuasaan, ideologi dan kekuasaan, kepentingan dan kekuasaan, yang sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara mereka atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka.

Demikian juga pengalaman Islam teoritisasi politik mengarah kepada perbincangan besar di sekitar Sunni, Syi'ah, dan Khawarij yang ketiganya menjadi representasi kajian dalam konstalasi politik dunia Islam. Ketiganya menjadi paham, preferensi politik juga sekaligus sistem politik yang melahirkan berbagai teori politik yang tidak lepas dari kesejarahan Islam klasik, tengah, dan moderen dari dulu hingga sekarang. Dalam bab ini dilihat bagaimana perkembangan teori politik Islam khususnya pada dua golongan yang besar yaitu Sunni dan Syi'ah. Oleh karena itu, untuk memahami teori politik Sunni dan Syi'ah, diperlukan pandangan ringkas tentang ajaran Islam, sejarah pertumbuhan kedua aliran ini dari sumbernya, dan perkembangan lanjut dari keduanya.

Sebenarnya tidak ada perbedaan berarti antara golongan Syi'ah dan Sunni dalam hal inti keimanan. Al-Qur'an dipandang oleh kedua golongan itu sebagai peran suci Allah Swt, dengan kata lain konsep ideal golongan Sunni juga disepakati oleh golongan Syi'ah. Permasalahan sebenarnya bersumber pada sejarah masa lalu yang sangat bersifat politis, bukan dari segi teologi Islam, walaupun kemudian dicarikan legitimasinya secara teologis. Friksi politik kedua golongan tersebut menurut Abd. Salam Arief dalam buku Negara Tuhan: The Tematic Encyclopaedia, diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dan disusul kemudian dengan penolakan Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap eksistensi kekhalifahan Ali, telah menimbulkan ketegangan politik yang akut dari kedua belah pihak yang berujung terjadinya perang Siffin. Perang Siffin inilah yang oleh sementara kalangan sejarawan disebut al-fitnah al-kubra dan berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang sejarah politik umat Islam dari generasi ke generasi sesudahnya.

Fraksi politik dalam Islam antara kedua kelompok yaitu Sunni dan Syi'ah, disebabkan perbedaan pendapat mengenai masalah imamah, seperti yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi'ah, A. Syarifuddin al–Mussawi, yang mengakui bahwa tiada suatu penyebab “perpecahan” di antara umat Islam yang lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang lebih parah daripada yang terjadi di sekitar persoalan ini. Persoalan imamah menurut al-Mussawi, adalah penyebab utama yang secara langsung menimbulkan perpecahan selama ini. Generasi demi generasi yang mempertengkarkan soal imamah telah menjadi demikian gandrung dan terbiasa dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing tanpa mau mengkaji dengan kepala dingin. 

Ulama Syi'ah lain yaitu Thabathaba’i, menulis bahwa orang-orang Syi'ah memang muncul karena kritik dan “protes” terhadap dua masalah dasar dalam agama Islam, kendati tidak berkeberatan terhadap cara-cara keagamaan yang melalui perintah-perintah Nabi merata di kalangan kaum Muslimin sekarang. Dengan kata lain, di luar kedua masalah itu, tidak ada perbedaan secara prinsipil antara Sunni dan Syi'ah. Kedua masalah itu adalah berkenaan dengan Pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan, yang menurut kalangan Syi'ah menjadi hak istimewa ahl al-bayt. Tetapi pendapat Syi'ah seperti itu ditolak oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak mewariskan kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat.

Ayatullah Imam Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan pandangannya mengenai paham dan aliran Syi'ah, menurutnya:

"Sejak awal mula sejarahnya, aliran syi'ah, yang merupakan aliran yang lazim dianut di Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan terhadap penguasa (meskipun mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi'ahisme menganjurkan perlawanan terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka sebagai penguasa yang tidak sah. Sejak dulu orang Syi'ah selalu menentang pemerintahan yang menekan".

Salah satu perbedaan yang juga mencolok antara golongan Sunni dan Syi'ah adalah sifat oposisi dan perlawanan yang ditunjukan oleh paham ini terhadap penguasa tiran, seperti yang juga dikatakan oleh Imam Khomeini:

"Banyak orang Sunni mungkin menilai pemberontakan menentang pemerintahan tiran ini sebagai upaya yang tidak sesuai dengan Islam. Hal ini terjadi karena adanya pandangan yang menyatakan bahwa seorang penguasa tiran pun harus dipatuhi. Pandangan ini didasari penafsiran keliru terhadap ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan ikhwal kepatuhan".

"Sebaliknya, kita orang Syi'ah yang mendasari penahaman kita terhadap Islam melalui sumber yang berasal dari Ali dan keturunannya, menilai hanya para Imam atau orang yang mereka tunjuk yang berhak sebagai pemegang kekuasaan. Pandangan ini sesuai dengan penafsiaran ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan ikhwal kekuasaan. Penafsiran tersebut dibuat oleh Rasulullah sendiri."

"Akar permasalahan sebenarnya terletak pada kenyataan ini: negara-negara yang didiami Sunni membenarkan kepatuhan terhadap para penguasa mereka; sebaliknya, orang Syi'ah selalu yakin akan kebenaran pemberontakan-kadangkala mereka mampu melawan pada kesempatan lain mereka terpaksa harus diam".

Perlawanan Husein terhadap Yazid dan kematiannya di Karbala merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah muslim. Tindakan Husein merupakan bentuk perlawanan terhadap penguasa yang menyimpang dari konsep ideal Islam. Menurut Akbar S. Ahmed, dalam kepercayaan Syi’ah, pertentangan antara Husein dan Yazid tersebut, merupakan pertentangan klasik antara kebaikan dan keburukan. Husein mewakili kebaikan yang dapat ditemukan dalam Islam, sedangkan Yazid merupakan lambang depotisme, dinasti, dan kekuasaan sementara. Peristiwa tersebut memungkinkan golongan Syi'ah menjadi sekte terbesar setelah Sunni dengan kekhususannya sendiri.

2. Teori Politik Ahlu as-Sunnah (Sunni)
Aspek ajaran Ahl as-Sunnah (Sunni) yang terpenting, terutama bila dibandingkan dengan ajaran Syi'ah, adalah teori politiknya. Semua kalangan Sunni mengakui otoritas keempat khalifah yang pertama, Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, sebagai penerus tugas Nabi yang menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga mereka disebut al-Khulafa al-Rasyidun. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah nama lembaga khilafah tetap dipertahankan dalam pemerintahan, tetapi sesungguhnya khilafah Islam tersebut telah berubah menjadi kerajaan Arab. Sebab itu ahli-ahli hukum (fiqih) Sunni yang selanjutnya, menganggap bahwa hanya pemerintahan keempat khalifah (al-Khulafa al-Rasyidun) itulah yang menjadi lambang pemerintahan Ideal.

Dalam sejarah pemikiran Sunni, meskipun terdapat perbedaan yang umum di antara madzhab-madzhab fiqih mereka, ahli fiqih Sunni secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal sebagai teori khalifah, sebuah doktrin baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang signifikan. Teori tersebut telah mendominasi komunitas Islam untuk waktu yang cukup lama. Apabila teoritikus politik Sunni membicarakan teori khilafah, biasanya yang mereka perbincangkan adalah suatu imamah atau lembaga di mana seseorang bertugas mengawasi pelaksanaan syari’ah dan bertindak sebagai hakim. Tetapi karena istilah ini biasanya dipakai secara khusus di kalangan Syi'ah, maka digunakan pemakaian istilah lembaga khilafah untuk kalangan Sunni dan istilah imamah untuk kalangan Syi'ah untuk menghilangkan kebingungan.

Definisi khalifah menurut Montgomery Watt, dalam bukunya Islamic political Thougth, secara esensial berarti penerus, atau seorang yang memegang posisi yang sebelumnya dipegang oleh orang lain, akan tetapi kata ini tidak terbatas pada konteks otoritas politik saja. Menurutnya, seorang khalifah bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang terdahulu, tetapi juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah menunjuknya. Atau lebih kurang sama artinya dengan wakil, atau naib (vicegerent).

Watt berpendapat, dalam arti sebenarnya khalifah adalah seorang yang menjalankan perintah sebagai pengganti Nabi, Watt berargumen bahwa ketika suatu saat Abu Bakar ditanya oleh seseorang: “Apakah anda wakil dari Rasulullah SAW?, oleh Abu Bakar dijawab, “ tidak”. Orang itu bertanya lagi, “Jadi anda ini siapa?” Abu Bakar menjawab, “ saya adalah penerus dari Nabi. Montgomery Watt menulis:

“Oleh karena Abu Bakar tidak ditunjuk oleh Nabi kecuali Hanya untuk mewakili Beliau mengimami shalat Jamaah. Maka kalimat “ Khalifah dari Rasulullah” tidak dapat diartikan sebagai “wakil”. Artinya sesungguhnya tentulah hanya sebagai “penerus”.

Meskipun banyak penguasa baik dari dinasti Ummayah berupaya mengaitkan status Ilahiyah kepada para penerus (khalifah), para ulama fiqih Sunni pada umumnya menganggap khalifah sebagai penguasa yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya. Penunjukannya tergantung pada kualitas-kualitas spesifik yang harus dimiliki seseorang penguasa, akan tetapi tidak ada kesepakatan universal tentang karakteristik-karakteristiknya. Bagaimanapun, saat itu teori khalifah belum disakralkan dan baru terjadi sakralisasi pada dinasti Abbasiyah, di mana ahli hukum Sunni menciptakan dan memformulasikannya.

Telaah mengenai proposisi utama teori politik tentang kekhalifahan terutama mengenai masalah legitimasi perlu dicermati di sini. Pertama, Abu Bakar dan Umar dua khalifah pertama menekankan aspek legitimasi dengan memakai tiga prinsip syura’ (musyawarah), aqd (kontrak penguasa rakyat), dan bai’at (sumpah setia). Metode ini kemudian digunakan untuk mengangkat pengganti mereka, Utsman. Namun, syura’ berangsur-angsur diabaikan, kemudian ‘aqd dan bai’at setelah berdirinya Dinasti Umayyah yang semi aristokatis. Selama era Abbasiyah, pertentangan antara legitimasi pemerintahan dan kesatuan ummat mengemuka. Sejak itu, teori politik yang ditekankan kalangan Sunni adalah otoritas khalifah sebagai pemegang otoritas kekuasaan Islam pasca wafatnya Nabi.

Otoritas Sunni awal menganggap khilafah sebagai lembaga politik yang sah dalam masyarakat Islam. Karena hanya ada satu ummat dan satu hukum Syari’ah, maka secara ideal hanya boleh ada satu orang khalifah yang melindungi ummat, serta mengawasi pelaksanaan syari’ah sesuai dengan pandangan ulama. Tetapi kemudian ketika khalifah kehilangan kekuasaan politik dan raja-raja kuat memerintah dunia Islam, teori ini direvisi terutama mengenai masalah yang mencakup khalifah, Sulthan, dan syari’ah. Khalifah melambangkan kesatuan ummat dan kekuasaan syari’ah, sedangkan Sulthan mengurus soal-soal aktual, militer dan politik, serta dimaksudkan untuk menjalankan hukum dan melindungi ummat.Mengenai hal ini H. A. R. Gibb mengatakan;

“Di dalam masyarakat Sunni tidak ada satu teori politik universal. Dasar utama pemikiran politik Sunni memustahilkan sembarangan teori sebagai definitif atau final. Yang pasti di dalamnya adalah prinsip bahwa khalifah adalah suatu pemerintahan yang menjaga aturan-aturan syariah yang menjamin penerapannya dalam praktik. Selama prinsip itu berjalan, boleh jadi terdapat perbedaan pendapat yang tak terbatas dalam penerapannya”.

Ahli fiqih Sunni yang pertama dan paling signifikan berupaya mensistematikakan doktrin khalifah dalam kerangka hukum fiqih Islam adalah Abu al-Hasan al-Mawardi (979-1058 M) dalam bukunya yang terkenal al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah (Hukum Tentang Pemerintahan). Al-Mawardi berupaya untuk mengabsahkan otoritas pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sekaligus berusaha membenarkan penggunaan pemaksaan sebagai implementasi pelaksanaan pemerintahan. Dia berpendapat bahwa khalifah secara Ilahiyah telah diberi otoritas baik untuk urusan politik maupun agama, Mawardi mengatakan;

"Tuhan…telah menunjuk untuk wakil rakyat seseorang pemimpin dan menjadikannya wakil kuasa dari Nabi di mana ia akan melindungi kepentingan-kepentingan agama; dia juga diserahi pemerintahan, sehingga penanganan segala perkara tetap berlandaskan agama yang benar…Kepemimpinan menjadi prinsip di mana dasar perkara-perkara agama ditegakkan dan dengan demikian kesejahteraan rakyat dapat diatur."

Pendapat seperti ini, yang berasumsi bahwa otoritas khalifah termasuk segalanya dan bahwa mereka telah ditakdirkan atas kehendak Tuhan yang Mahakuasa, dengan sendirinya sesuai dengan pendapat yang diadopsi oleh para ahli fiqih Sunni kontemporer, yang berargumen bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak menunjuk orang atau orang-orang tertentu sebagai penguasa atas kaum Muslim. Sebagai konsekuensi logis ialah tidak menjadi persoalan siapa yang memerintah dan bagaimana ia memperoleh otoritas tersebut.

Dalam kenyataannya memang teori politik yang dikembangkan oleh teoritisasi Sunni praktis terus berubah bersama dengan perubahan politik yang terjadi di dunia Islam. Hal yang paling ekstrim yang bisa dilihat adalah perubahan dari konsep khalifah pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin, praktis sebagai orang yang dipilih oleh Allah dengan segala keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan ummat kepada sekadar seseorang yang berhasil merebut kekuasaan (berkat keunggulan militernya). Sebelum dikembalikan kepada model idealis teosofis al-Farabi dan dibatasi hanya pada empat khalifah pertama (al-Khulafa al-Rasyidun), yang kembali ditawarkan sebagai alternatif.
3. Teori Politik Syi'ah
Secara literal Syi'ah berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, “kelompok”. Secara terminologis istilah ini merujuk kepada sebagian kaum muslimin yang dalam dimensi spiritual keagamaan dan juga politik membela keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atau yang dikenal dengan istilah ahl al-bayt. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah Syi'ah dan ahl al-bayt ini dibaptiskan kepada sebagian kaum Muslim yang mempropagandakan dan mendukung kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.

Syi'ah adalah kelompok yang percaya bahwa hak untuk menjadi penerus Nabi hanya dimiliki oleh keluarganya dan mengikuti keluarga Nabi (ahl al-bayt) sebagai sumber inspirasi dan bimbingan untuk memahami petunjuk al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi itu. Keluarga Nabi adalah saluran melalui mana ajaran dan barakah wahyu mencapai kaum Syi'ah. 

Syi'ah sendiri dalam perkembangannya terbagi dalam beberapa sekte. Menurut Ahmad Amin, sekte Syi'ah terbagi dalam tiga kelompok, yaitu, Syi'ah Zaidiyah, Syi'ah Itsna Asy’ariah yang sering disebut Syi'ah Imamiyah (dengan Doktrin 12 Imam), dan Syi'ah Ismailiyah yang memiliki doktrin dan berakhir pada Imam Ismail Abd Ja’far al-Shadiq. Berbeda dengan Ahmad Amin, al-Syahrastani membagi sekte Syi'ah menjadi lima golongan, yaitu: Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan Ismailiyah.

Dalam buku Ensiklopedi Islam, aqidah atau ajaran Syi'ah memiliki sejumlah doktrin penting yang terutama berkaitan dengan masalah Imamah, yang antara lain:

1.  Ahlulbait (Ahl al-Bayt).
Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam istilah tersebut khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad SAW. Ada tiga pengertian ahlulbait; Pertama, mencakup istri-istri Nabi dan seluruh bani Hasyim; Kedua, hanya bani Hasyim; dan Ketiga, hanya terbatas pada Nabi sendiri, Ali, Fatimah, Hasan, Husein, dan Imam-imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam ajaran Syi'ah bentuk yang terakhirlah yang lebih popular.

2. Al-Bada’.
Dari segi bahasa bada’ berarti tampak. Doktrin al-bada’ adalah keyakinan bahwa Allah SWT mampu mengubah sesuatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi'ah, perubahan keputusan Allah SWT itu bukan karena Allah baru mengetahui sebuah maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui-Nya. 

3.      Asyura.
Berasal dari kata ‘asyarah, yang artinya sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi'ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husein bin Ali dan keluarganya di tangan Yazid bin Muawiyyah pada tahun 61 H di Karbala Irak.

4. Mahdawiyyah.
Mahdawiyyah berasal dari kata Mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat ini disebut Imam Mahdi.

5. Taqiyah (dissimulation)
Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqa’ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.

6. Marja’iyyah (sering disebut Marja’ Taqlid).
Berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu, sedangkan dalam pengertian Syi'ah marja’ taqlid berarti “sumber rujukan”. Menurut Syi'ah Imamiyah, selama keghaiban Imam Mahdi, kepemimpinan umat terletak pada pundak para fukaha, baik dalam persoalan keagamaan maupun dalam urusan kemasyarakatan. Para fuqaha-lah yang seharusnya menjadi pucuk pimpinan masyarakat termasuk dalam persoalan kenegaraan atau politik. Doktrin marja’iyyah ini erat kaitannya dengan konsep wilayatul faqih (pemerintahan faqih)

7. Imamah (kepemimpinan).
Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Dalam Syi'ah kepemimpinan ini mencakup persoalan keagamaan dan kemasyarakatan Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat.

8. Doktrin-doktrin lain seperti, Ismah (menjaga), Raj’ah (pulang/ kembali), Tawassul (memohon), dan Tawali (mengangkat) atau Tabarri (menjauhkan diri).termasuk dalam doktrin-doktrin yang di anut oleh kaum Syi'ah.

Dari sekian banyak doktrin di atas, doktrin Imamah menempati kedudukan sentral dalam aspirasi politik Syi'ah. Doktrin itu antara lain: Pertama, tentang Imamah, yang menurut mereka merupakan salah satu rukun agama. Karenanya pemilihannya tidak boleh diserahkan kepada ummat, melainkan Nabi-lah yang menetapkan seseorang Imam dengan jelas. Kedua, Seorang Imam haruslah seorang maksum. Pengertian maksum ini menurut anggapan mereka yaitu seorang yang suci, terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, dan ia tidak boleh berbuat suatu kesalahan. Semua yang bersumber dari dirinya, berupa ucapan atau tindakan adalah hak dan benar belaka. Ketiga, kaum Syi'ah menganggap bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah Imam yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Nabi sepeninggalnya dengan ketetapan nash yang jelas. Keempat, setiap Imam yang baru harus ditunjuk dan ditetapkan dengan nash oleh pendahulunya. Mereka berpegangan bahwa jabatan itu tidak dibenarkan pelaksanaannya di tangan ummat. Kelima, sekte-sekte Syi'ah bersepakat jabatan Imamah hanyalah hak Ali dan keturunannya.

Dari kelima doktrin yang dipegang Syi'ah itu, jika ditelusuri secara mendalam, doktrin Imamah Inilah yang mewarnai Perjuangan mereka dalam melawan otoritas Sunni yang dinilai merebut hak dari ahlul bait Nabi SAW.

Bagi kaum Syi'ah, Ali Ibn Abi Thalib dan sebelas keturunannya (ahl al-bayt) adalah yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi. Hal ini, menurut seorang ulama Syi'ah, A. Syariffudin al-Musawi, antara lain ditandaskan dalam ucapan Imam Ali yang pernah mengatakan:

“Di manakah orang-orang yang mengaku bahwa merekalah dan bukannya kami (ahl al-bayt), yang dengan mantapnya menguasai ilmu? Semata-mata disebabkan kebohongan dan kedengkian mereka atas kami, karena Allah telah melimpahkan karunia-Nya atas kami dan menjauhkannya dari mereka? Memadukan kami dalam lindungan-Nya dan mengeluarkan mereka?! Dengan kami orang mendapat petunjuk, dan dengan kami dihilangkan kebodohan. Kepemimpinan (imamah) haruslah diserahkan pada Imam dari Bani Hasyim di antara Quraisy. Tidaklah ia pantas bagi selain mereka dan tidaklah pantas para pemimpin (Imam) kecuali yang berasal dari mereka.”

Berbeda dengan kaum Sunni, kalangan Syi'ah menganggap bahwa masalah kepemimpinan ummat adalah masalah yang terlalu vital untuk diserahkan kepada musyawarah manusia-manusia bisa, yang bisa saja memilih orang yang salah untuk kedudukan tersebut, dan karenanya bertentangan dengan tujuan wahyu ilahi. Adapun paradigma pemikiran politik yang dianut oleh kalangan Syi'ah memandang bahwa negara atau kepemimpinan ummat yang relevan disebut imamah, adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan.

4.  Penutup
Demikianlah, perbedaan pendapat akan konsep pemerintahan(politik) yang memang merupakan fitrah manusia  antara kedua madzhab pemikiran dalam dunia Islam ini. Namun dalam kaitannya dengan kekuatan dalil-dalil diantara keduanya, baik dalil aqli maupun dalil naqli , kenyataannya  konsep Syi’ah lebih layak diterima . Karena jika kita melihat contoh kecil dari sejarah para nabi terdahulu isalnya, dalam kasus nabi Musa AS. Yang pada waktu akan meninggalkan kaumnya ke gunung tuwa’, beliau mewlikan Harun AS. Sebagai washinya. Dan yang demikian itu beliau sendiri yang menunjuknya, atas persetujuan Allah SWT melalui firman-Nya . Wallahu A’lam.

Daftar Pustaka
V. Fitzgerald , “Mohamedian Law
Arief ,Abd. Salam ,” Negara Tuhan: The Tematic Encyclopaedia”
Watt ,Montgomery, “Islamic political Thougth
Ensiklopedi Islam”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar