Sabtu, 27 Maret 2010

KEHUJJAHAN HADITS MURSAL

A.    Pengertian Hadits Mursal

Al-Mursal menurut bahasa berarti melepaskan. Adapun menurut istilah ahli hadits dan fuqoha berbeda dalam mendefinisikan hadits mursal.
Hadits mursal menurut ahli hadits adalah:
مارفعه التابعي إلى الرسول صلىالله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير صغيرا كان التابعي او كبيرا
Artinya: Hadits yang dimarfu'kan oleh seorang tabi'in kepada Rasulullah Saw, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir, baik tabi'in itu kecil maupun tabi'in besar.
Definisi ini banyak digunakan mayoritas ahli hadits, hanya saja mereka tidak memberikan batasan tabi'in besar atau kecil.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa hadits mursal adalah segala hadits yang bersambung sanadnya kepada tabi’in dan tidak menyebutkan nama shahabi yang meriwayatkan hadits langsung menyebut nama nabi Muhamad Saw.
Ada sebagian ulama yang memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang di marfukan oleh tabi’in besar saja, karena pada umumnya periwayatan tabi’i besar adalah dari sahabat. Sebagian ahli hadits tidak menilai  hadits yang di-irsal-kan oleh tabi’i kecil  sebagai hadits mursal tetapi hadits munqathi’, karena sebagian besar periwayatan mereka adalah dari tabi’i juga.
Adapun hadits mursal menurut ahli ushul adalah perkataan seseorang yang tidak berjumpa dengan nabi Muhammad Saw  baik dari tabi’i atau tabi’u  tabi’in atau orang sesudah mereka. Jadi Hadits mursal adalah perkatan tabi’in baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil  atau perkataan sahabat kecil, yang menegaskan tentang apa yang telah dikatakan atau diperintahkan  oleh Rasulullah Saw  tanpa menerangkan dari sahabat mana berita itu diperolehnya.
 Dari  masing-masing definisi di atas dapat diketahui letak perbedaan pendapat antara keduanya.
Ahli ushul berpendapat, hadits mursal adalah hadits yang gugur perawinya  atau terputus sanadnya ditingkat manapun, baik diakhir, ditengah, ataupun di awal sanad. Baik berurutan  maupun tidak. Dengan demikian yang termasuk kategori  hadits mursal adalah hadits mu’allaq, mu’dhol, munqhathi’, karena hadits-hadits tersebut tidak bersambung sanadnya
Sedang ahli hadits hanya membatasi hadits mursal hanya pada hadits yang gugur perawinya di akhir sanad atau pada tingakatan sahabat

B.     Klasifikasi Hadits Mursal
Dalam hadits mursal, yang digugurkan adalah sahabat yang menerima berita langsung dari nabi, sedangkan yang mengugurkan dapat juga seorang tabi’i atau sahabat kecil. Oleh karna itu ditinjau  dari siapa yang mengugurkan dan sifat pengugurannya, hadits mursal terbagi kepada tiga macam yaitu :
1.      Mursal Jaly, Yaitu bila  penguguran yang telah dilakukan oleh rawi tabi’i adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh  umum, bahwa orang yang mengugurkan  itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan  yang mempunyai berita atau penguguran  itu dilakkukan oleh tabi’i besar
2.      Mursal Shahaby,  yaitu pemberitaan  sahabat yang disandarakan kepada Nabi Muhamad Saw, tetapi ia tidak mendengarkan atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran di saat Rasulullah hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama islam.
hadits mursal ini dianggap shahih, karena ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat. Sedang para sahabat itu seluruhnya adil. Contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Malik
أخبرنامالك بن شهاب عن عبيدالله بن عبدالله بن عطبة عن عبدالله بن عباس رضي الله عنه قال : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم  خرج إلى مكة يوم عام الفتح في رماضان  فصام حتى بغ الكديد ثم افطر فافطر الناس
Yang artinya dikabarkan dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidillah  bin abdillah bin ‘tabah dari Abdullah bin ‘abbas r.a ibnu abbas berkata “ Bahwa Rasulullah Saw keluar menuju ke mekkah, pada tahun kemenangan dalam bulan ramadhan, karena itu beliau berpuasa sampai ke kadid lalu setelah itu beliau berbuka, kemudian orang-orang pun berbuka’.
Menurut al-qabisy, hadits tersebut termasuk hadits mursal shahaby, lantaran Ibnu Abbas tidak ikut berpergian bersama Rasulullah Saw beliau di Mekkah  ketika itu bersama dengan orang tuanya, jadi Beliau tidak menyaksikan kisah perjalanan tersebut. Hal itu diketahui berdasarkan berita dari sahabat lain. 
3.      Mursal Khafi, yaitu hadits yang diriwayatkan  oleh tabi’i, dimana tabi’i yang meriwayatkan hidup sezaman  dengan shahaby, tetapi ia tidak perah mendengar sebuah hadits pun daripadanya. Hukum hadits mursal ini adalah dhaif

C.    Pandangan Ulama tentang kehujahan Hadits Mursal
Seluruh ulama sependapat , bahwa hadits mursal yang di-irsal-kan oleh sahabat dapat diterima sebagai hujjah dalam beramal, dengan alasan bahwa apa yang diriwayatkan oleh sahabat secara irsal diduga keras berdasarkan pendengarannya langsung dari nabi Muhamad Saw, atau berdasarkan pendengarannya langsung dari sahabat lain yang tidak diketahuinya,  identitas seorang sahabat itu adalah orang-orang yang berpredikat adil
Periwayatan hadits secara irsal pernah terjadi di saat rasulullah masih hidup, karena adanya beberapa faktor seperti sahabat waktu itu masih kecil, atau terakhir masuknya ke dalam agama islam, atau karena hal lain. Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azib pernah berkata
" Tidaklah setiap kami mendengar langsung hadits Rasulullah Saw, kami kadang-kadang berpergian dan memiliki kesibukan,. Akan tertapi manusia pada waktu itu tidak ada yang berdusta. Lalu orang yang  menyaksikan suatu hadits menyampaikannya kepada orang yang tidak menyaksikannya"
Hadits mursal yang di-irsal-kan oleh tabi'i baik tabi'i itu kecil ( yang tak berjumpa dengan sahabat kecuali sedikit), para ulama berbeda sahabat dalam menggunakan hadits ini sebagai hujjah dan beramal.
Kebanyakan ulama hadits menilai bahwa hadits mursal ini lemah (dhaif) dan karenanya tak bisa dijadikan hujjah, karena tidak diketahui rawi yang gugur dalam urutan sanad atau tidak diketahui keadaan orang yang tidak disebut  namanya itu. Tetapi pendapat ini kurang mashur di kalangan fuqoha, pendapat mashur mereka adalah menerima hadits mursal sebagai hujah
Adapun Hadits mursal apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, Muhammad Ajaj Al-khatib  menyebutkan bahwa perbedaan pendapat tersebut sampai  10 pendapat, tetapi yang tergolong mashur hanya 3 yakni menolak, menerima dengan beberapa syarat, dan menerima hadits mursal. 
1.      pendapat pertama, yakni pendapat jumhur dan kebanyakan fuqoha dan ahli ushul menyatakan bahwa hadiits mursal itu dhaif dan tidak dapat dipakai hujjah, argumentasi mereka adalah bahwa rawi yang tidak disebutkan  itu tidak dapat diketahui identitas dan karakternya dan boleh jadi ia bukan seorang sahabat. Bila demikian maka para perawinya meriwayatkan hadits dari orang-orang tsiqat, oleh karena itu bila salah seorang perawinya meriwayatkan  hadits dengan meng-irsal-kannya, maka barangkali ia menerima hadits tersebut dari orang yang tidak tsiqat. Apabila rawi yang meng-irsal-kan itu tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang yang tsiqat, maka menilai ketsiqatan orang yang tidak jelas identitasnya dianggap tidak cukup.
2.      Pendapat kedua, yakni pendapat Iman Al-Muthalibi Al-syafi’i menjelaskan  bahwa hadits mursal kibaaar al-tabi’in   dapat diterima dengan beberapa syarat, baik pada matan hadits maupun pada rawi yang meng-irsal-kannya .
hadits mursal itu harus didukung oleh salah satu dari empat  faktor berikut :
a.       Diriwayatkan secar musnad dari jalan lain.
b.      Diriwayatkan secara mursal oleh rawi yang tidak menerima hadits tersebut dari guru-guru pada sanad pertama, karena hal ini menunjukan  berbilangnnnya jalur  hadits.
c.       Sesuai dengan pandapat sebagian sahabat
d.      Sesuai dengan pendapat kebanyak  ahli ilmu.
Adapun syarat pada rawinya adalah bila ia menyebutkan nama gurunya itu bukan orang yang majhul  dan bukan orang yang dibenci riwayatnnnya. Bila faktor-faktor ini terdapat dalam suatu hadits mursal, maka hal ini menunjukan  kesahihan sumber hadits tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh syafi’i , sehingga dapat dipakai sebagai hujjah.
3. pendapat ketiga, yakni  pendapat Imam Abu Hanifah dan imam Malik dan imam Ahmad dan ulama lainnya
adapun alasan Imam Abu Hanifaaah menerima hadis mursal sebagai hujjah, kalau yang mengirsalaknnya itu tabi’i  dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1.      menurut logika bahwa rawi yang bersifat adil lagi perwira tentu tidak mau mengugurkan rawi-rawi (guru) yang berada antara dia dan nabi, sekiranya rawi yng digugurkan itu bukan orag yang adil pula, dengan kata lain sebagai orang yang adil tentu enggan membuat penipuan dengan menyembunyikan atau menggugurkan orang yang tidak adil
2.      rawi yang tsiqat  tidak akan mau meriwayatkan hadits dari orang yang tidak tsiqat, atau yang lebih mungkin adalah para tabi'in umumnya menerima hadits dari para sahabat dan mereka adalah orang-orang yang adil
3.      umat islam pada periode itu umumnya jujur dan adil dan sebagaimana yang ditegaskan rasulullah Saw yang memuji generasi tabi'in melalui sabdanya
خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (متفق عليه)
yang artinya : Sebagus-bagusnya kamu sekalian adalah generasiku, kemudian generasi seudahnya (sahabat), dan kemudian generasi yang mengikutinya (tabi'i) ( Bukhori Muslim)
4.      Ijma Tabi'in, bahwa para  tabi'i sepakat yang menerima  hadits-hadits yang diriwayatkan secara irsal tanpa adanya pengingkaran, hal ini dapat dilihat dari  dari apa yang diriwayatkan Al-A'mas ketika beliau berdialog dengan ibrahim al-nakho'i " apabila anda memberitakan hadits kepada saya, maka saya akan menyambungkan hadits itu, kemudian  ia berkata: " apabila saya berkata kepada anda, telah memberitakan hadits kepadaku, dan apabila saya, si pulan, dan Abdullah bin masud maka dialah yang memberikan  hadits kepada saya, dan apabila saya berkata kepada anda  "Abdullah bin Mas'ud telah memberitakan hadits itu kepada saya, maka seolah sekelompok orang yang telah memberitakan hadits kepada saya
Demikian pula dapat dilihat dari perkataan  Imam hadits  Hasan Al-Bisri  yaitu “ Aku, kalau hadits yang kuterima itu diriwayatkan oleh 4 orang sahabat, akan terus menerangkan “bersabda nabi" dengan tidak menerangkan nama-nama sahabat itu, kalau aku mengatakan "diriwayatkan kepadaku oleh si fulan”, berarti hadits itu aku terima dari seorang saja, kalau aku terima dari berpuluh-puluh orang aku mengatakan “bersabda Rasulullah"
Abu Hanifah menerima hadits mursal sebagi hujjah terbatas  hanya sampai generasi  ketiga (tabi’u tabi’in) dengan berdasarkan  kepada hadits  tersebut di atas, adapun hadits mursal sesudah generasi itu Abu Hanifah menolaknya, dengan alasan akan timbul kebohongan, namun ini tidak berarti bahwa abu Hanifah menerima hadits mursal secara bulat-bulat, sebagaiamana diketahui beliau adalah seorang yang sangat ketat dalam urusan menerima hadits, dengan kata lain beliau juga menerima hadits dari rawi-rawi yang adil dan terpercaya (tsiqat)
Ulama yang termasuk membolehkan berhujjah dengan hadits mursal adalah Imam Malik, seperti halnya Abu Hanifah beliau juga menerima hadits mursal sebagai hujjah, dengan catatan perawi yang mengirsalkan itu adalah orang tsiqat (terpercaya), bahkan Imam Malik meletakan sebagian fatwanya dengan berdasarkan pada hadits mursal  hukum dalam madzhab beliau berpegang pada hadits mursal dan hadits dhaif, itu dilakukan jika ia tak mendapati dalam al-quran atau sunah  masalah yang beliau hadapi, barulah beliau mengambil hadits mursal dan dhaif untuk menetapkan hukum itu dilakukannya dengan alasan sejauh kelemahan hadits tersebut dalam segi persambungan sanad dalam konotasi mursal, yakni hilangnya perawi di tingkat sahabat, maka hadits itu masih bisa diterima, karena kendati sahabat yang ditinggalkan itu kurang populer atau diragukan oleh tabi’in. menurut Imam Ahmad hadits mursal dan hadits dhaif masih lebih baik daripada dirinya sendiri. Oleh sebab itu menurut beliau sebelum melakukan qiyas, lebih baik mengkaji hadits-hadits Nabi termasuk hadits mursal Imam Ahmad juga menerima hadits mursal sebabagai hujjah dalam beramal, bahkan salah satu penetapan
Penutup
 Demikianlah sekilas pembahasan tentang hadits mursal dan kehujjahanya menurut pandangan ulama, dan menurut asy-syaukani bahwa yang benar hadist mursal itu tak dapat dijadikan hujjah secara mutlak, karen adanya keraguan dan tidak diketahui dengan jelas tentang keadaan rawinya
Wallahu a'lam bi al-showab

 Nuruddin Itr, Ulumul Hadits 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya), h 153
Ajaj al-khatib, Ushul al-Hadits, (Jakarta:Bulan bintang, 1998), Cet. 1, h 304
T.M. Hasbi ash- Shidqi,  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits , (Jakarta: Bulan Bintang,1988), cet. VIII, h 209
Ajaj Al-Khatib, Loc.Cit.
  Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al- Islami, (Bairut: Darul Fikr ) Juz I, h 474
Ibid
  Ajaj Al-Khatib, Op.Cit, h 305
Fatchur Rachman, ikhtisar Musthalahul hadits , (Bandung:Al-Ma’arif t.th), h 182
Munzier Supartadan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, ( Jakarta: Rajawali pers,1996) Cet. II, h 162
Fatchur Rachman,Op.Cit, h 181
 Wahbah Zuhaili, Loc.Cit
Nuruddin Itr , Op.Cit, h 15 8
 Nuruddin Itr,  Ibid, h 158
Muhammad Zakariya, Aujuz Al- Masalik Ila al-Muawatha' Malik, (Bairut: Darul-fikr, 19730, H 110
T.M. Hasbi ash- Shidqi, Loc. Cit
Muhammad Ujaj al-khatib, Ushul al-Hadits wa ulumahu  wamustholahahu, (Beirut: Dar al-Fikr) V 61, h  338
Fatchur Rachman , Op.Cit, h 183
Nuruddin NR, Op.Cit, h 156
 Nuruddin NR, Ibid, h 156
Mutafa said al-Khin, Atsar  al- Ikhtilaf  al-Fuqoha, (beirut: Muasasah ar-Risalah, 1985), Cet IV, h 402
T.M. Hasbi ash- Shidqi, Op.Cit , h 210
  T.M. Hasbi ash- Shidqi, Ibid
K.H. Munawir khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (jakarta: Bulan Bintang,1996), Cet X, h. 322
  Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), Cet II, h 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar